PURBALINGGA, borneoreview.co – Siang itu, derai tawa anak-anak Kelas 7G SMP Negeri 1 Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, terdengar riang saat jam istirahat kedua.
Mereka duduk rapi di bangku masing-masing. Aeorang siswa berdiri di depan kelas, memimpin yel-yel sederhana yang menandai waktu makan siang.
Tak lama, doa bersama mengalun khidmat. Ompreng berisi hidangan hangat sudah tersaji, dibawa oleh perwakilan siswa dari salah satu ruangan di sekolah itu.
Masakan itu diolah di dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru beberapa bulan berjalan di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga.
Nasi putih pulen, lauk daging, tumisan sayur segar, dan buah pisang membuat anak-anak itu tersenyum.
Setelah berdoa, sendok-sendok mungil segera bekerja. Piring kosong menumpuk cepat, tanda makanan benar-benar habis disantap.
Begitu selesai, ompreng ditata rapi di depan kelas, lalu dikumpulkan untuk dikembalikan ke dapur.
Doa penutup kembali mereka lantunkan, dengan ucapan terima kasih yang tulus.
Lalu, barisan kecil anak-anak itu masuk ke kelas, kembali pada buku pelajaran dengan perut kenyang dan hati riang.
Bagi anak-anak, program MBG bukan sekadar jatah makan. Ia adalah pengalaman harian yang memberi rasa aman dan bahagia.
Sabian Swasetyo, salah seorang siswa Kelas 7G, menyebut hidangan MBG selalu membuatnya bersemangat.
“Saya senang sekali kalau ada telur, rasanya enak,” katanya polos.
Pamungkas menambahkan, hampir tidak pernah ada makanan tersisa karena menu-menu yang disajikan tiap hari selalu berganti dan terasa enak.

Amalia Zahra, yang tampak ceria dengan baju batik birunya, punya menu favorit tersendiri.
“Kalau menu ayam, saya senang sekali. Jadi lebih bersemangat sekolah. Uang saku juga bisa ditabung,” katanya
Sementara Saina, yang lebih menyukai sayuran, mengaku gembira bisa tetap sehat. Selain itu, uang sakunya bisa ditabung karena dengan adanya MBG, dia tidak perlu jajan di sekolah.
Bagi mereka, program MBG bukan hanya soal makanan gratis. Ada rasa dihargai, diperhatikan, dan diberi kesempatan tumbuh dengan baik.
Dapur Tak Pernah Tidur
Di balik ompreng-ompreng berisi makanan bergizi itu, ada tangan-tangan terampil yang bekerja nyaris tanpa henti.
Mereka adalah orang-orang yang bekerja di dapur MBG yang dikelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Limbasari, di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, serta bermitra dengan Yayasan Alrahma Bhakti Jatisaba.
Kepala SPPG Limbasari, Henti Lutfiah, mengatakan dapur MBG yang dia kelola menjadi salah satu pionir di Purbalingga.
Dapur itu berdiri sejak 17 Februari 2025, bersama dua dapur MBG lainnya.
Salah satunya SPPG Purbalingga Wetan di Kecamatan Purbalingga Kota. Yang juga bermitra dengan Yayasan Alrahma Bhakti Jatisaba.
SPPG Limbasari melayani 15 sekolah dari tingkat TK, SD, hingga SMP.
“Awalnya, sasaran kami 3.331 siswa. Sekarang sudah 3.610 penerima manfaat, termasuk balita, ibu hamil, dan ibu menyusui,” katanya.
Terkait dengan keterlibatan sukarelawan di dapur MBG/SPPG Limbasari.
Dia mengakui antusiasme warga luar biasa karena saat perekrutan tercatat sebanyak 250 orang yang mendaftar.
Sedangkan jumlah yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan Badan Gizi Nasional (BGN) sebanyak 47 orang.
Namun setelah seleksi, SPPG Limbasari melibatkan 57 sukarelawan yang mayoritas warga Limbasari.
Ada 10 orang, di antaranya mendapatkan upah dari Yayasan Alrahma Bhakti Jatisaba, sedangkan lainnya dari BGN.
“Kami lebih ketat karena lokasinya agak jauh. Semua wajib pakai APD. Tujuannya agar makanan tetap aman, terhindar dari risiko penyakit,” kata Henti menjelaskan.
Ritme kerja dapur berjalan hampir semalam suntuk. Bahan makanan datang menjelang magrib, disortir, lalu dipersiapkan sejak pukul 19.00 WIB.
Kalau gorengan, mulai dimasak pukul 00.00 WIB atau 01.00 WIB. Sayur baru dimasak sekitar pukul 02.30 WIB agar tetap segar.
“Kami masak dua kloter, pertama dini hari, lalu pagi pukul 05.00 WIB-06.00 WIB,” katanya.
Menurut dia, pekerjaan tersebut bukan sekadar rutinitas, tetapi amanah besar.
Sebab, anak-anak itu masa depan bangsa Indonesia, sehingga mereka harus mendapatkan makanan sehat setiap hari.
Suara dari Sekolah
Di SMP Negeri 1 Bobotsari, program MBG langsung diterima sejak hari pertama SPPG Limbasari berjalan pada bulan Februari 2025.
Saat itu, jumlah siswa sebanyak 760 anak, sekarang sebanyak 760 siswa.
Pelaksana Tugas Kepala SMP Negeri 1 Bobotsari Supangat melihat perubahan nyata di kalangan siswanya.
Menurut dia, MBG membawa dampak ganda. Pertama, anak-anak bisa menyimpan uang saku, sehingga orang tua lebih tenang. Kedua, kebutuhan gizi mereka lebih terjamin.
“Anak-anak sangat antusias, ada siswa yang bilang di rumah jarang ada susu,” katanya.
Tapi lewat MBG, di sekolah mereka mendapatkannya. Itu artinya program ini membantu sekali.
Soal menu, ia mengakui wajar jika ada siswa yang mengusulkan variasi, namun secara umum mereka puas.
Mereka tahu tidak mungkin semua keinginan bisa terpenuhi karena yang penting sehat dan cukup.
Meski sekolah itu hampir enam tahun belum memiliki kepala sekolah definitif, Supangat menegaskan pihaknya tetap berkomitmen.
“Kami harus memastikan MBG berjalan baik. Karena yang kami perjuangkan adalah masa depan anak-anak,” tegasnya.
Program MBG di Bobotsari bukan hanya memberi makan ribuan siswa.
Lebih jauh, ia membentuk ekosistem kepedulian baru: guru, relawan, orang tua, dan siswa saling terkait dalam rantai kebaikan.
Bagi anak-anak, setiap sendok nasi dan potongan sayur adalah tanda kasih dari banyak pihak yang peduli.
Bagi orang tua, MBG berarti satu beban berkurang, satu harapan bertambah.
Sementara bagi relawan, setiap porsi makanan yang diantar adalah amal yang tak ternilai.
Suasana sederhana di ruang kelas: doa bersama, makanan habis tanpa tersisa, senyum puas anak-anak, seakan menegaskan bahwa gizi adalah hak, bukan kemewahan.
Sabian, Amalia, Pamungkas, hingga Saina mungkin hanya tahu bahwa ayam, telur, dan sayuran itu enak.
Namun, jauh di balik itu, mereka sedang menerima sesuatu yang jauh lebih besar.
Yaitu, sebuah jaminan bahwa masa depan mereka tidak boleh kosong seperti ompreng yang sudah habis, melainkan penuh harapan, sehat, dan bergizi.***