JAKARTA, borneoreview.co – Berlangsung sebuah momentum penting di dunia pesantren Indonesia, Selasa, 26 Agustus 2025.
Di Pesantren Bina Insan Mulia (BIMA), Cirebon, digelar Halaqah Nasional IV Pimpinan Pesantren.
Kegiatan sekaligus Rapat Kerja Nasional (Rakernas) perdana Persaudaraan dan Kemitraan Pesantren Indonesia (PK-Tren Indonesia).
Acara ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI 2019-2024, KH Ma’ruf Amin, dan sekitar 700 kiai pimpinan pesantren dari seluruh penjuru tanah air.
Sebagai tuan rumah, KH Imam Jazuli, pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, menyampaikan gagasan besar yang patut dicatat dalam sejarah pendidikan pesantren yakni konsep pesantren postmodern.
Pada kesempatan itu, KH Imam Jazuli menyampaikan bahwa transformasi pesantren adalah sebuah keniscayaan. Perubahan memang membutuhkan waktu, namun hasilnya akan lebih maksimal.
Dengan mengutip kaidah Arab “ath-thariqah ahammu minal maddah” (metode lebih penting daripada materi).
Ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya bergantung pada isi materi.
Melainkan pada sistem, strategi, model, dan metode pembelajaran yang digunakan.
KH Imam Jazuli bercerita tentang perjalanan panjangnya bersama Kementerian Agama, mulai dari menjadi rekanan penerbitan buku hingga keterlibatannya di RMI PBNU.
Dari pengalaman itu, ia memahami bahwa mengajak pesantren bertransformasi bukan perkara mudah.
Banyak kalangan pesantren merasa sudah mapan dengan ribuan santri yang ada, sehingga usulan inovasi sering dianggap tidak relevan.
Namun, pengalaman riset yang dilakukannya selama ini dengan dukungan Kementerian Agama menunjukkan, bahwa stagnasi justru menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan pesantren.
Ruang Strategis
Salah satu hasil riset yang ia ungkap adalah fakta mengejutkan bahwa, hanya 14 persen alumni pesantren yang bisa disebut “berhasil” dalam ukuran sederhana seperti kesejahteraan ekonomi.
Mayoritas alumni hanya menjadi guru ngaji atau ustaz madrasah diniyah, dan sedikit sekali yang mampu menembus ruang-ruang strategis di masyarakat.
Menurut KH Imam Jazuli, hal ini disebabkan minimnya akses pendidikan tinggi.
Kalau pun ada lulusan pesantren yang melanjutkan pendidikan, mayoritas masih terbatas pada bidang keagamaan.
Padahal bangsa ini membutuhkan kontribusi alumni pesantren di berbagai sektor termasuk kepolisian, TNI, BUMN, kementerian, hingga ruang-ruang profesional lainnya.
Karena itu, sejak awal berdirinya pesantren BIMA, KH Imam Jazuli menegaskan bahwa seluruh santri wajib melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Tidak boleh ada santri yang berhenti hanya dengan pendidikan pesantren.
Bahkan, ia menolak calon santri yang enggan melanjutkan kuliah. Tekadnya jelas, pesantren harus melahirkan kader-kader yang siap bersaing di semua bidang, bukan hanya agama.
Transformasi ini juga tampak nyata dalam metode pembelajaran bahasa Arab di pesantren BIMA.
Jika biasanya butuh bertahun-tahun, di pesantren BIMA hanya dengan satu semester santri sudah menguasai bahasa Arab dengan baik.
Hasilnya, puluhan santri mendapat beasiswa ke luar negeri, seperti Tunisia, Maroko, dan Mesir.
Ini bukti bahwa metode baru yang efektif dapat melahirkan generasi pesantren yang berdaya saing global.
Namun gagasan KH Imam Jazuli tidak berhenti di pendidikan. Ia juga menyinggung pentingnya perjuangan politik.
Baginya, tanpa kekuatan politik, pesantren sulit mendapatkan perlindungan regulatif.
Karena itu, ia menegaskan dukungannya terhadap PKB sebagai partai politik yang menjadi benteng perjuangan pesantren.
Bahkan dengan tegas ia mengatakan, lebih baik kehilangan pesantren BIMA daripada kehilangan PKB.
Sebab, jika PKB hilang, maka advokasi pesantren di tingkat nasional juga ikut melemah.
Framing Negatif
Di sisi lain, KH Imam juga mengingatkan tentang tantangan serius yang dihadapi pesantren, yaitu framing negatif di media.
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di pesantren memang jumlahnya sangat kecil dibandingkan sekolah umum.
Namun, pemberitaan tentang pesantren selalu panjang, berulang-ulang, dan masif.
Menurut dia, ada upaya terstruktur melalui buzzer untuk mendiskreditkan pesantren dan tokoh agama.
Karena itu, ia mengajak seluruh sivitas pesantren untuk tidak diam, melainkan aktif membela dan meluruskan opini publik.
Dari keseluruhan gagasannya, tampak jelas sosok kiai seperti KH Imam Jazuli, sedang membangun fondasi sebuah paradigma baru. Yakni, pesantren postmodern.
Pesantren model ini bukan sekadar mempertahankan nilai salaf (tradisi lama), atau sekadar menempelkan label modern.
Lebih dari itu, pesantren postmodern adalah pesantren yang mampu menggabungkan tradisi, modernitas, dan inovasi baru sesuai kebutuhan zaman.
Pesantren yang tetap menjaga nilai-nilai Islam klasik, namun sekaligus membuka ruang bagi sains, teknologi, politik, dan berbagai disiplin ilmu kontemporer.
Pesantren yang tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga melahirkan pemimpin bangsa di berbagai bidang strategis.
Di hadapan KH Ma’ruf Amin dan ratusan kiai se-Indonesia, KH Imam Jazuli mengajak dunia pesantren untuk berani berubah.
Tidak perlu takut dengan istilah modernisasi, karena hakikatnya adalah keberanian untuk mentransformasikan diri sesuai tuntutan zaman.
Pesantren postmodern, sebagaimana ditegaskan KH Imam, adalah jawaban bagi kebutuhan masyarakat Indonesia hari ini.
Yakni, lembaga pendidikan Islam yang transformatif, adaptif, dan berdaya saing global.
Inilah gagasan besar yang lahir dari Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.
Sebuah gagasan yang, jika dijalankan bersama, dapat menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban baru Indonesia.
Sebuah peradaban yang berakar kuat pada tradisi, namun sayapnya terbuka lebar ke cakrawala masa depan.
*) Penulis adalah praktisi dan pengamat pendidikan pesantren.